
Maskapai penerbangan Sriwijaya Air pernah menjadi salah satu maskapai terbesar dan terbaik dengan faktor keselamatan prima di Indonesia. Ternyata perusahaan airline ini dibangun dengan susah payah oleh satu keluarga asal Bangka Belitung. Presiden Direktur pertama Sriwijaya Air, Chandra Lie mengatakan, pada awalnya maskapai ini dibangun atas kerjasama dengan Pemprov Sumatera Selatan pada 2000 an.
Tujuan pendirian Sriwijaya Air adalah untuk merajut seluruh kawasan Nusantara seperti keinginan raja kerajaan Sriwijaya dahulu yang berasal dari kota Palembang. Saat itu Bangka Belitung masih menjadi bagian dari Provinsi Sumsel. Akan tetapi kongsi tersebut pecah, karena sesuau hal. Pemprov Sumsel tak mau lagi mengeluarkan dana membiayai rencana pembentukan Sriwijaya Air.
Tanpa patner dari pemda, keluarga tersebut tetap ngotot untuk mendirikan maskapai penerbangan. Alasannya, saat itu di Pangkalpinang sudah ada bandara, namun penerbangan ke Jakarta hanya bisa dilakukan sekali dalam beberapa hari yaitu oleh maskapai Merpati. Jatuh Bangun Sriwijaya Air, Maskapai yang Pendirinya Menjadi Tersangka Kasus Timah Sriwijaya Air Akhirnya Buka Suara Terkait Pendirinya jadi Tersangka Kasus Korupsi Timah
Manajemen Sriwijaya Air Group Buka Suara Usai Pendirinya Jadi Tersangka Kasus Korupsi Timah Penjelasan Sriwijaya Air setelah Pendirinya, Hendry Lie Ditetapkan Jadi Tersangka Korupsi Timah Pendiri Ditangkap Kasus Timah, Manajemen Sriwijaya Air Pastikan Operasional Penerbangan Profesional
Kapan Founder Sriwijaya Air Hendri Lie Diperiksa Sebagai Tersangka Korupsi Timah? Ini Kata Kejagung Inilah Identitas FNY, IRT yang Diperiksa Kejagung dan Diduga Istri Tersangka Kasus Korupsi Timah Mobil Mewah Disita Kejagung, Harvey Moeis Tak Mau Dituduh Tersangka Kasus Korupsi Timah
Padahal, mobilitas masyarakat Bangka ke Jakarta cukup padat. Karenanya harga tiket cukup tinggi dan transportasi dikuasai oleh sektor laut, saat itu ASDP melayani perjalanan penyeberangan dari Jakarta Pangkalpinang. Deregulasi industri penerbangan saat itu yang memungkinkan siapa pun bisa mendirikan maskapai menjadi peruntungan Sriwijaya Air. Wikipedia menyebutkan, PT Sriwijaya Air lahir sebagai perusahaan swasta murni yang didirikan oleh Chandra Lie, Hendry Lie, Johannes Bunjamin, dan Andy Halim.
Mereka membangun maskapai ini dibantu oleh tenaga ahli yang turut menjadi pionir berdirinya Sriwijaya Air di antaranya adalah Supardi, Capt Kusnadi, Capt Adil W., Capt. Harwick L, Gabriella dan Suwarsono. Sriwijaya Air Diharapkan menjadi maskapai yang tangguh, seperti logonya yang membentuk kepala seekor gajah yang digambar dalam alur lukisan.Logo ini juga melambangkan RU YI (Filosofi Cina), yang berarti bahwa apa yang kita inginkan atau usahakan harus yakin tercapai. Tepat di Hari Pahlawan, 10 November 2003 Sriwijaya Air melakukan penerbangan perdana dengan satu pesawat yang dimiliki yaitu Boeing 737 200 rute Jakarta Pangkalpinang pp.
Sambutan masyarakat saat itu memang luar biasa, kursi pesawat selalu penuh. Bahkan kehadiran maskapai tersebut mengubah perilaku transportasi warga Bangka Belitung. Mereka yang tadinya menggunakan kapal cepat ke Jakarta, kemudian beralih ke pesawat yang harga tiketnya dianggap bersaing. Harga tiket Sriwijaya Air Rp 175.000 dengan waktu perjalanan 1 jam 15 menit, sementara harga tiket kapal cepat Rp 165.000 namun harus menempuh perjalanan selama 10 jam. Dalam setengah tahun persaingan pun selesai, ASDP menutup layanan kapal cepatnya rute Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta Pelabuhan Pangkalbalam Pangkalpinang.
Sriwijaya Air terus berkembang dan mengepakkan sayapnya melayani penerbangan ke sejumlah kota di Sumatera dan Kalimantan, seperti Jambi, Palembang dan Pontianak. Jumlah pesawat pun terus meningkat, dalam dua tahun saja Chandra Lie cs mampu mengoperasikan sebanyak 15 unit pesawat Boeing 737 200 dengan rute lebih dari seratus. Saat itu Sriwijaya Air juga berusaha mendatangkan 10 unit pesawat yang lebih baru dan kapasitasnya lebih banyak, Boeing 737 tipe 300 dan 400. Artinya, maskapai ini bakal bersaing dengan Garuda, maskapai kebanggaan Pemerintah Indonesia. Meski demikian, Chandra Lie selalu menyebut bahwa Garuda adalah flag carrier Indonesia, tak bisa disaingi dan harus didukung.
"Sriwijaya tak mungkin menyaingi Garuda, kami terus mendukung Garuda karena menjadi flag carrier Indonesia," kata Chandra Lie dalam beberapa kesempatan saat itu. Tujuh tahun setelah berdiri, yaitu 2010, Sriwijaya Air benar benar menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Maskapai ini melakukan ekspansi dengan membuka rute ke luar negeri yaitu terbang ke Malaysia dan Singapura. Maskapai ini juga telah mengoperasikan sebanyak 27 unit pesawat dan menguasai 11,8 persen pasar penerbangan domestik. Hanya Lion Air dan Garuda Indonesia saja yang menguasai pasar lebih besar.
Sriwijaya Air pun semakin percaya diri. Maskapai sempat memesan sebanyak 20 pesawat Embraer tipe 175 dan 195 buatan Brasil. Namun pemesanan ini akhirnya dibatalkan dan digunakan untuk memesan Boeug 737 500 untuk operasional anak usahanya NAM Air. NAM Air beroperasi sebagai pendungkung Sriwijaya pada penerbangan di wilayah yang tidak diterbangi Sriwijaya. Perjalanan bisnis Sriwijaya Air memang maju pesat saat itu. Untuk memenuhi pelanggannya yang terus berkembang hingga kawasan timur Indonesia hingga 2016 maskapai ini telah diperkuat oleh 47 unit pesawat beberapa diangtaranya adalah pesawat paling modern saat itu, Boeing 737 800 NG dan Boeing 737 900 ER.
Sriwijaya Air sebelumnya mempercayakan perawatan semua pesawat jenis Boeing 737 di Singapore International Airlines Engineering Company (SIAEC) dan Malaysia Airlines (MAS). Namun memercayakan pemeliharaan dan perbaikan pesawatnya di Garuda Maintenance Facilities atau GMF AeroAsia, anak usaha Garuda Indonesia, yang sebenarnya adalah pesaingnya. Saat maskapai ini terlihat sedang jaya jayanya, tiba tiba kabar miring menimpa. Garuda Indonesia Group pemilik GMF mengambil alih manajemen Sriwijaya Air Group.
Imbas lainnya, Sriwijaya Air Group tidak lagi mendapat jasa perawatan armada dari GMF sejak 25 September 2019. Akibat masalah tersebut, operasi penerbangan Sriwijaya Ait langsung menurun. Peawat operasional pun berkurang drastis yaitu menjadi 24 unit diikuti dengan rute rute penerbangan yang mulai ditinggalkan. Maskapai ini terus berjuang untuk mengembaikan kejayaannya. Akan tetapi pada 2020 lalu pandemi covid 19 menghantam seluruh sendi perekonomian hampir seluruh negara di dunia.
Permasalahan pun semakin mendalam ketika satu pesawatnya yaitu SJ 182 jatuh di Perairan Kepulauan Seribu pada 9 Januari, yang menewaskan 56 penumpang dan enam kru pesawat. Kepercayaan pelanggan semakin menurun, dan kejayaan pun ikut meredup. Meski demikian, Sriwijaya Air terus berusaha bertahan. Masalah keuangan mendera, hingga pada pertengahan 2023 lalu, maskapai ini nyaris dipailitkan. Beruntung , manajemen mendapat persetujuan dari para krediturnya untuk restrukturisasi utang melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Pesawat pesawat yang dioperasikan pun terus menurun, hingga kini tinggal mengoperasikan sebanyak enam unit pesawat. Sementara salah satu pendirinya, Hendry Lie yang juga masih menjadi komisaris maskapai tersebut telah ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi kasus timah.